Artikel Lainnya:
Coming Soon
Coming Soon
Coming Soon
Coming Soon
Coming Soon
Coming Soon
Pada awal 2024, Coca-Cola meluncurkan kampanye global bertajuk "Create Real Magic"—sebuah inisiatif promosi yang sepenuhnya melibatkan kecerdasan buatan (AI) dalam proses kreatifnya. Publik terbelah. Sebagian menyebutnya revolusioner, sisanya menyebutnya "karya tanpa jiwa." Namun satu hal menjadi jelas: iklan tidak lagi semata buatan manusia.
Tak lama berselang, di Indonesia, platform Komdigi yang dikenal sebagai wadah edukasi dan pemasaran digital, merilis konten kampanye makan siang gratis berbasis AI. Tampilannya rapi, narasinya kuat, namun diskursus publik lebih fokus pada siapa yang “tidak lagi dibutuhkan” dalam proses kreatif tersebut.
Fenomena ini menandai momen penting: era produksi iklan oleh tim besar dengan biaya ratusan juta perlahan tergantikan oleh tim kecil yang didukung mesin pintar. Ini bukan sekadar eksperimen visual. Ini adalah transisi industri.
Setiap lompatan teknologi membawa gelombang adaptasi. Ketika ojek online hadir pada pertengahan 2010-an, banyak ojek pangkalan mengalami penurunan penghasilan. Bukan karena permintaan hilang, tapi karena pola konsumsi berubah dan sebagian besar dari mereka tidak siap bertransformasi.
Hal serupa kini terjadi di industri kreatif. Dulu, efek visual dalam film dikerjakan secara manual melalui practical effects—seperti miniatur ledakan, latar fisik, atau animatronik. Teknologi digital menggantikan itu semua dengan special effects, kemudian visual effects berbasis software mahal seperti Autodesk Maya atau Adobe After Effects. Kini, software murah seperti Blender dan Unreal Engine 5 telah menurunkan lagi batas biaya produksi. Dan hari ini, kita memasuki fase baru: iklan yang diproduksi oleh teks perintah dan algoritma, bukan kru dan kamera.
AI generatif seperti Midjourney, Runway, dan Sora memungkinkan pengguna membuat visual sinematik, wajah virtual, hingga dialog dan narasi—tanpa perlu studio fisik. Maka, bukan hanya seniman digital, editor video, atau voice talent yang terdampak, tapi seluruh ekosistem produksi iklan.
Tak bisa dimungkiri, penggunaan AI menimbulkan kekhawatiran yang sah:
Desainer grafis menghadapi tekanan harga karena klien lebih memilih solusi instan.
Voice over artist bersaing dengan suara sintetis yang semakin mirip manusia.
Agensi periklanan harus merombak struktur biaya dan tenaga kerja agar tetap kompetitif.
Industri digital, yang sebelumnya dianggap sebagai penerima manfaat dari disrupsi teknologi, kini mulai menjadi korbannya. Adaptasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Namun apakah ini hal baru? Tidak.
Setiap era punya alat canggih yang menggantikan alat sebelumnya. Kamera digital menggantikan film analog. Aplikasi desain menggantikan ilustrasi manual. Kini AI menggantikan banyak proses di balik layar produksi.
Transformasi ini bukan kehancuran, melainkan evolusi. Persis seperti fotografer studio yang dulunya membutuhkan pencahayaan besar dan ruang khusus, kini hanya butuh kamera smartphone dan filter. Evolusi teknologi terus mengecilkan skala—dan biaya—produksi kreatif.
Di balik keresahan, ada peluang. AI tidak hanya menekan biaya; ia juga memperluas akses.
Perusahaan kecil dan startup kini dapat membuat materi promosi sekelas brand besar, tanpa harus membentuk tim kreatif internal. AI mempercepat produksi, mengurangi biaya sewa alat, bahkan menggantikan kebutuhan akan lokasi syuting fisik.
Bagi pelaku UMKM, ini lebih dari sekadar kemajuan—ini penyelamat. Mereka yang dulunya kesulitan membuat katalog produk, kini bisa membuat iklan dalam bentuk gambar bergerak, presenter virtual, bahkan voice over bahasa asing hanya dengan smartphone dan beberapa ribu rupiah.
Platform lokal seperti Beginiaja memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan jasa pembuatan gambar, video, dan undangan digital berbasis AI dengan harga sangat terjangkau—mulai dari Rp10.000. Meski hanya satu dari banyak penyedia jasa, Beginiaja mencerminkan bagaimana teknologi bisa diterjemahkan secara kontekstual untuk kebutuhan lokal.
Setiap disrupsi melahirkan dua jenis pelaku: mereka yang bertahan dengan sistem lama, dan mereka yang belajar dari sistem baru. Teknologi tidak pernah benar-benar menggantikan manusia; ia hanya menggantikan cara lama bekerja.
Industri kreatif, seperti halnya industri transportasi, kesehatan, bahkan pertanian, akan terus berubah seiring kemajuan mesin. Yang perlu dilakukan bukan melawan arus, tapi mengarahkan perahu dengan lebih cerdas.
Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling berbakat yang bertahan, tapi siapa yang paling siap beradaptasi.